Bau yang Menipu Otak, Terasa Seperti Rasa

Temuan ilmuwan menjelaskan mengapa air beraroma atau makanan tertentu terasa punya “rasa tambahan” hanya karena baunya.


Temuan ilmuwan menjelaskan mengapa air beraroma atau makanan tertentu terasa punya “rasa tambahan” hanya karena baunya.Foto Ilustrasi: Ksusha/Unsplash


Ringkasan

  • Otak memproses bau terkait rasa (seperti manis atau gurih) seolah-olah itu adalah rasa asli.
  • Proses integrasi ini terjadi lebih cepat dari perkiraan, langsung di korteks rasa (insula).
  • Penemuan ini berpengaruh besar pada kebiasaan makan dan pembentukan preferensi rasa.


SEBUAH studi dari Karolinska Institutet, Swedia, yang terbit di Nature Communications menemukan bahwa otak kita ternyata menafsirkan aroma tertentu seolah-olah itu adalah rasa.


Biasanya kita menganggap bahwa rasa berasal murni dari lidah. Padahal, pengalaman flavour atau cita rasa sesungguhnya adalah kombinasi antara rasa dan aroma.


Aroma makanan bisa masuk lewat rongga mulut ke hidung, disebut sebagai bau retronasal.


Peneliti menemukan bahwa otak tidak menunggu lama untuk menggabungkan keduanya, proses itu langsung terjadi di insula, bagian otak yang dikenal sebagai pusat rasa, sebelum informasi naik ke korteks frontal yang mengatur emosi dan perilaku.


Dalam penelitian ini, 25 orang dewasa sehat dilibatkan. Mereka dilatih untuk mengenali rasa manis dan gurih melalui kombinasi rasa dan aroma.


Selanjutnya, aktivitas otak mereka dipindai dengan fMRI saat hanya diberi aroma tanpa rasa, atau rasa tanpa aroma. Algoritma kecerdasan buatan dipakai untuk membaca pola aktivitas otak.


Hasilnya, pola otak ketika mencium aroma manis atau gurih hampir sama dengan ketika benar-benar merasakan rasa tersebut.


“Dengan kata lain, korteks rasa bereaksi pada bau yang terkait rasa seolah-olah itu adalah rasa nyata,” jelas Putu Agus Khorisantono, peneliti dari Karolinska Institutet.


Hal ini bisa menjelaskan kenapa air beraroma bisa terasa manis, meski tanpa gula.


Temuan ini juga menegaskan betapa kuat kerja sama bau dan rasa dalam menciptakan kenikmatan makan, sekaligus berpotensi mendorong craving (ngidam) atau makan berlebih.


Janina Seubert, peneliti senior yang juga terlibat dalam studi ini, menambahkan bahwa otak sebenarnya tidak memproses bau dan rasa secara terpisah, melainkan menciptakan representasi gabungan di korteks rasa.


Mekanisme ini diduga berperan dalam pembentukan preferensi makan kita sejak awal, bahkan mungkin memengaruhi pola makan jangka panjang.


Ke depan, tim peneliti ingin menguji apakah mekanisme ini juga berlaku pada bau eksternal (orthonasal), misalnya saat kita berjalan di supermarket.


“Apakah pola aktivasi di otak berubah dari gurih ke manis ketika kita berpindah dari lorong keju ke bagian pastry?” kata Putu Agus. Jika iya, ini bisa memengaruhi pilihan makanan yang kita ambil.


Pengetahuan semacam ini juga relevan untuk industri makanan dan minuman. Tak heran banyak produk diet atau rendah gula mengandalkan aroma untuk memberi sensasi manis.


Namun, di sisi lain, mekanisme ini bisa membuat orang lebih mudah tergoda mengonsumsi makanan manis atau gurih secara berlebihan.


Disadur dari EurekAlert.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama