Sebuah studi baru dari Spanyol mengungkap bahwa orang dengan sifat narsistik mengaku punya kecerdasan emosional tinggi, namun hasil tes obyektif justru menunjukkan sebaliknya.
Ringkasan
- Narsistik merasa punya kecerdasan emosional tinggi, tapi gagal di tes obyektif.
- Studi memakai dua metode pengukuran: tes kinerja dan laporan diri.
- Hasil tunjukkan bahwa tes kinerja lebih akurat daripada sekadar pernyataan pribadi.
BANYAK orang bangga mengatakan dirinya "pintar secara emosional" alias punya emotional intelligence (EI) tinggi. Tapi, benarkah begitu?
Faktanya, bagi mereka yang tergolong ke dalam kelompok kepribadian Dark Triad, yaitu narsisme, Machiavellianisme, dan psikopati, menunjukkan fakta sebaliknya.
Setidaknya hal itu menurut sebuah penelitian Louana Marie Denogent dan timnya dari Universitas Málaga, Spanyol, yang dipublikasikan di jurnal Personality and Individual Differences.
Narsisme dalam konteks ini bukan hanya soal suka selfie atau pamer gaya hidup di media sosial. Ini tentang merasa diri hebat, haus akan pujian, dan cenderung memanipulasi orang lain demi kepentingan sendiri.
Sedangkan Machiavellianisme lebih ke manipulasi strategis dan hubungan tanpa emosi, dan psikopati berkaitan dengan impulsif, tidak punya empati, dan perilaku antisosial.
Peneliti Denogent dan timnya melibatkan 222 mahasiswa. mayoritas perempuan, dalam sebuah survei daring. Mereka menggunakan dua alat ukur EI:
- MSCEIT – tes obyektif berbasis kinerja yang mengharuskan peserta menyelesaikan tugas-tugas emosi.
- TMMS-24 – kuisioner yang meminta peserta menilai kemampuan emosional mereka sendiri.
Hasilnya mengejutkan:
- Pria mencetak skor lebih tinggi dalam semua sifat Dark Triad.
- Wanita unggul dalam tes EI obyektif, terutama dalam pengelolaan emosi.
- Tapi, dalam laporan diri, tidak ada beda signifikan antara pria dan wanita.
Yang menarik, orang yang memiliki sifat narsistik dan psikopatik cenderung gagal dalam tes obyektif EI, tapi mengklaim memiliki kemampuan tinggi jika ditanya secara subjektif.
Menurut para peneliti, perbedaan ini menyoroti pentingnya membedakan antara kemampuan nyata dan persepsi diri.
“EI berbasis kinerja bisa menjadi pelindung dari perilaku khas Dark Triad seperti agresi, impulsif, dan taktik manipulatif,” tulis peneliti dalam laporannya.
Faktanya, alat ukur seperti TMMS-24 sangat rentan bias, karena siapa pun bisa bilang “Saya peka secara emosional,” meski kenyataannya jauh dari itu.
Sebaliknya, MSCEIT lebih sulit dipalsukan, karena peserta harus benar-benar bisa menafsirkan dan merespons emosi secara tepat.
Studi ini tidak hanya menambah wawasan psikologi, tapi juga penting untuk kehidupan nyata, khususnya di dunia kerja dan hubungan sosial.
Di lingkungan profesional misalnya, seseorang yang mengaku “pintar bergaul” tapi ternyata tidak mampu mengelola konflik atau memahami emosi orang lain, bisa jadi malah memperburuk situasi.
Penelitian ini juga membuka peluang untuk lebih mempercayai tes obyektif dalam menilai soft skills seperti EI, daripada hanya mengandalkan penilaian diri.
Disadur dari PsyPost.

Posting Komentar