Harga untuk Mengurangi Rasa Sakit Ayam-Ayam di Peternakan, Hasil Studi

Temuan terbaru para peneliti tentang penderitaan ayam bisa mengubah cara kita memandang harga makanan di meja makan.


Temuan terbaru para peneliti tentang penderitaan ayam bisa mengubah cara kita memandang harga makanan di meja makan. Foto Ilustrasi: tawatcha07/FreepikFoto Ilustrasi: tawatcha07/Freepik 


Ringkasan 


DENGAN biaya kurang dari seperseratus sen, jam-jam penuh rasa sakit yang dialami ayam di peternakan bisa dihapuskan. 


Penelitian terbaru menunjukkan, menambahkan sekitar satu dolar per kilogram daging ayam sudah cukup untuk memangkas 15 hingga 100 jam penderitaan intens yang biasa dialami ayam dalam sistem peternakan modern. 


Selama ini, harga ayam hanya dihitung dalam rupiah per kilo, atau kalaupun dikaitkan dengan kebijakan, biasanya soal dampaknya terhadap lahan, air, dan gas rumah kaca. 


Namun yang jarang diperhitungkan adalah “harga penderitaan” ayam itu sendiri. Nah, sebuah metode baru bernama Welfare Footprint Framework mencoba menjawab hal itu. 


Kerangka ini mengukur kesejahteraan hewan dalam bentuk jam rasa sakit atau jam kesenangan, yang bisa disejajarkan dengan hitungan biaya ekonomi maupun dampak lingkungan.


Para peneliti menguji metode ini pada kebijakan sukarela European Chicken Commitment (ECC), yang mendorong perusahaan daging untuk memakai ayam dengan pertumbuhan lebih lambat dan standar kesejahteraan lebih tinggi. 


Hasilnya jelas: satu ekor ayam bisa terhindar dari 15 hingga 100 jam rasa sakit intens bila standar ini diterapkan. Biayanya? Hanya tambahan sekitar satu dolar per kilogram daging ayam.


“Nilai-nilai ini bukan angka abstrak. Ia menempatkan kesejahteraan hewan setara dengan prioritas kebijakan lain,” kata Dr. Kate Hartcher dari University of Queensland.


Setiap tahun lebih dari 70 miliar ayam dipelihara di seluruh dunia, menjadikannya vertebrata darat terbanyak di planet ini. Sejak 1950-an, bobot ayam telah tiga kali lipat akibat seleksi genetik untuk mempercepat pertumbuhan. 


Tubuh mereka tidak selalu bisa mengikuti, menyebabkan cacat kaki, gagal jantung, hingga stres panas. Banyak ayam yang hidup dengan rasa sakit kronis.


Bahkan induk ayam (parent stock) yang digunakan untuk menghasilkan anak-anak ayam pedaging dipaksa menahan lapar seumur hidup, karena jika diberi makan normal, tubuhnya akan tumbuh terlalu cepat hingga mati sebelum bisa bereproduksi.


“Penderitaan ayam sebenarnya dimulai bahkan sebelum telur menetas, melalui hidup induknya,” jelas Dr. Cynthia Schuck-Paim, penulis utama studi.


Alternatifnya? Ayam ras lambat seperti Ranger Gold. Studi memperkirakan, ayam jenis ini mengalami 33 jam lebih sedikit rasa sakit berat sepanjang hidupnya dibanding ayam broiler biasa.


Peneliti membandingkan biaya pencegahan penderitaan dengan tolok ukur harga karbon. Hasilnya mengejutkan, mencegah satu jam rasa sakit ayam hanya butuh kurang dari seperseratus sen, setara emisi mobil yang melaju 15 meter.


Tentu, menerapkan ECC mungkin sedikit meningkatkan emisi karbon (sekitar 1 kg CO₂ ekstra per kilogram daging). Namun, jika ditimbang dengan puluhan jam penderitaan yang bisa dihindari, kompromi ini tampak sepele.


Selama ini, kesejahteraan hewan kerap luput dalam diskusi pangan global. Bahkan dalam target Sustainable Development Goals (SDGs) PBB, isu ini nyaris tak disebut. 


Model sistem pangan lebih sering menghitung nutrisi dan iklim ketimbang penderitaan hewan.


Dengan adanya Welfare Footprint Framework, penderitaan bisa dihitung layaknya ton CO₂ atau rupiah. 


Itu artinya, konsumen, perusahaan, bahkan pemerintah kini punya “satuan ukur” baru untuk menimbang biaya dan manfaat dari apa yang mereka makan.


Seperti kata Dr. Hartcher: “Angka-angkanya sudah bicara sendiri.”


Disadur dari ZME Science.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama