Bukan Psikopat, Dorongan Perempuan di Swedia Bertindak Sadis

Mayoritas perempuan di Swedia yang terlibat pembunuhan atau percobaan pembunuhan ternyata memiliki tingkat psikopati rendah. 


Mayoritas perempuan di Swedia yang terlibat pembunuhan atau percobaan pembunuhan ternyata memiliki tingkat psikopati rendah.Ilustrasi dibuat oleh AI. 


Ringkasan 

  • Kebanyakan pelaku perempuan menunjukkan motivasi reaktif—emosi memuncak akibat konflik atau ancaman.
  • Tingkat psikopati rata-rata rendah, jauh di bawah ambang yang biasanya menunjukkan sifat psikopat.
  • Gangguan mental berat membuat pola motivasi lebih kompleks, campuran antara reaktif dan sedikit terencana.


SELAMA ini, riset tentang pembunuhan banyak fokus ke pelaku laki-laki. Informasi tentang pelaku perempuan relatif terbatas. Studi baru yang dipublikasikan di International Journal of Forensic Mental Health ini mencoba mengisi celah tersebut. 


Tim peneliti dari University of Gothenburg menganalisis 175 perempuan yang dikenai dakwaan pembunuhan, percobaan pembunuhan, atau kejahatan serupa, lalu menjalani evaluasi psikiatri forensik.


Hasilnya, skor rata-rata pada Psychopathy Checklist-Revised (PCL-R) hanya sekitar 11 dari 40—jauh di bawah batas indikasi psikopati. 


Perempuan dengan gangguan mental berat seperti skizofrenia atau depresi parah bahkan punya skor lebih rendah lagi, terutama dalam aspek interpersonal (manipulasi, pesona palsu).


Mayoritas kasus masuk kategori reaktif, artinya kekerasan muncul sebagai respons terhadap ancaman atau provokasi, dalam kondisi emosi tinggi, tanpa perencanaan matang. 


Misalnya, pertengkaran yang memanas lalu berujung fatal. Kekerasan instrumental, yang terencana dan punya tujuan jelas, sangat jarang.


Namun, pada pelaku dengan gangguan mental berat, pola sedikit berbeda. Mereka kadang menunjukkan perencanaan jangka pendek, meski tetap dilatarbelakangi emosi memuncak. 


Menariknya, provokasi langsung tidak selalu ada, menunjukkan bahwa ledakan kekerasan bisa dipicu akumulasi stres atau rasa terancam yang membangun dari waktu ke waktu.


Karin TrägÃ¥rdh, psikolog forensik sekaligus penulis utama studi, menekankan pentingnya memahami kompleksitas kasus ini. 


Menurutnya, perempuan pelaku kekerasan mematikan sering kali sudah berinteraksi dengan layanan kesehatan atau sosial sebelum peristiwa terjadi, peluang yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pencegahan.


Temuan ini juga menantang stereotip bahwa pelaku pembunuhan selalu dingin dan penuh perhitungan. 


Pada banyak perempuan, intervensi yang menargetkan regulasi emosi, penyelesaian konflik, dan dukungan sosial mungkin lebih efektif daripada sekadar hukuman.


Peneliti mengingatkan bahwa hasil ini spesifik untuk konteks hukum dan budaya Swedia, sehingga penerapannya di negara lain perlu hati-hati. 


Meski begitu, pesan besarnya jelas: memahami latar belakang emosional dan mental pelaku perempuan bisa membuka jalan bagi pencegahan dan rehabilitasi yang lebih manusiawi.


Disadur dari PsyPost


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama