Desain pesawat supercepat bisa dibuat lebih sederhana dari yang dibayangkan, membawa mimpi perjalanan global ultra-cepat semakin dekat ke kenyataan.
Ringkasan
- Eksperimen baru menunjukkan turbulensi di Mach 6 mirip dengan aliran udara pada kecepatan rendah.
- Jika benar, desain pesawat hipersonik bisa memakai prinsip aerodinamika yang sudah dikenal.
- Temuan ini membuka peluang bagi penerbangan satu jam dan akses ruang angkasa yang lebih efisien.
GAGASAN terbang keliling dunia dalam waktu setara satu film Hollywood kini bukan sekadar fiksi ilmiah. Penerbangan hipersonik dapat memangkas perjalanan Sydney–Los Angeles dari 15 jam menjadi 1 jam saja.
“Ini akan membuat planet terasa jauh lebih kecil.”
Demikian kata Prof. Nicholaus Parziale, peraih Presidential Early Career Award for Scientists and Engineers berkat risetnya tentang mekanika fluida pada penerbangan kecepatan tinggi.
Saat ini pesawat militer mampu melesat hingga Mach 2–3. Namun untuk menjadikan penerbangan super kilat itu nyata, manusia butuh mencapai Mach 10.
Tantangan utamanya? Panas ekstrem dan turbulensi brutal yang muncul ketika pesawat menembus atmosfer dengan kecepatan luar biasa tinggi.
Pada kecepatan rendah, udara dianggap tak terlalu berubah kerapatannya, disebut aliran tak-mampat (incompressible). Namun setelah melewati Mach 1, udara mulai “bisa diperas,” alias compressible.
Perubahan tekanan dan temperatur drastis membuat gaya angkat (lift), hambatan (drag), hingga kebutuhan tenaga (thrust) ikut berubah. Karena itu aerodinamika hipersonik lebih rumit dan masih menyisakan teka-teki.
Hipotesis Morkovin sejak lama menyatakan bahwa meski udara pada Mach 5–6 berubah drastis secara fisik, perilaku turbulensinya secara umum tetap mirip dengan aliran berkecepatan rendah.
Artinya, para insinyur tak perlu memikirkan teori turbulensi baru untuk kendaraan hipersonik. Namun selama puluhan tahun, tidak ada eksperimen yang bisa membuktikan ini dengan meyakinkan hingga studi terbaru Parziale muncul.
Dalam riset berjudul “Hypersonic turbulent quantities in support of Morkovin’s hypothesis” (Nature Communications, 2025), Parziale dan tim memakai gas krypton yang diberi laser hingga berpendar sebagai garis lurus.
Kamera beresolusi sangat tinggi memotret bagaimana garis ini terpuntir oleh aliran udara super cepat di terowongan angin.
Hasilnya, pada Mach 6, struktur turbulensinya sangat mirip dengan aliran tak-mampat—mendukung hipotesis Morkovin.
Temuan ini mengindikasikan bahwa desain pesawat hipersonik tidak memerlukan pendekatan aerodinamika yang sepenuhnya baru.
Jika hipotesis ini bertahan di lebih banyak eksperimen, dampaknya masif. Mendesain pesawat Mach 6 biasanya memerlukan komputasi raksasa—di luar kemampuan komputer saat ini.
Dengan hipotesis Morkovin, insinyur dapat membuat asumsi yang lebih sederhana, sehingga simulasi bisa dilakukan tanpa superkomputer.
Parziale juga menyebut bahwa teknologi ini membuka pintu menuju transportasi ruang angkasa berbasis pesawat. Bukan lagi roket, melainkan pesawat yang meluncur ke orbit rendah (LEO).
Konsep ini dapat merevolusi pengiriman satelit, perjalanan manusia, serta logistik luar angkasa.
Meski kabar ini menjanjikan, ada tantangan lain, yakni material tahan panas ribuan derajat dan sumber energi berdaya dorong ekstrem.
Namun demikian beberapa penelitian terbaru melengkapi temuan Parziale. Itu membentuk gambaran bahwa era penerbangan hipersonik kini masuk fase “mungkin dalam jangkauan,” bukan sekadar mimpi.
Disadur dari SciTech Daily.

Posting Komentar