Jejak Penyihir dan Pohon Kenari di Kota Benevento

Aroma sihir masih terasa di udara Benevento, dari doa penolak “mata jahat” hingga museum khusus yang menelusuri sejarah kelam perburuan penyihir di Italia.


Kenari Benevento oleh Giuseppe Pietro Bagetti (1764-1831)Kenari Benevento oleh Giuseppe Pietro Bagetti (1764-1831) 


Ringkasan 


SEKILAS, Benevento hanyalah kota tua berpenduduk 55 ribu jiwa di wilayah Campania, dua jam perjalanan dari Roma. Tapi di balik teater Romawi dan lengkung Trajanus, kota ini menyimpan kisah mistis yang tak lekang waktu. 


Dahulu, warga percaya penyihir-penyihir yang disebut Janare datang dari berbagai daerah untuk menari di bawah “pohon kenari Benevento”, tempat yang diyakini jadi gerbang dunia gaib.


Hingga kini, sebagian penduduk masih memegang erat takhayul lama. 


Mereka melakukan ritual air dan minyak untuk menolak kutukan mata jahat, atau menaruh sapu di depan pintu agar penyihir sibuk menghitung jeraminya dan tak bisa masuk rumah. 


Bahkan, jika kuda ditemukan dengan surai terjalin, diyakini Janara telah menungganginya semalam.


Menurut antropolog Maria Scarinzi dari Museum of Witches Benevento, beberapa warga lansia masih enggan membicarakan Janara. 


“Mereka percaya jika menyebut namanya, penyihir itu akan datang di malam hari,” ujarnya kepada Smithsonian Magazine.


Kisah Benevento sebagai kota penyihir bermula dari tahun 1428, saat seorang perempuan bernama Matteuccia di Francesco diadili dan dibakar hidup-hidup karena tuduhan sihir di kota Todi


Dalam pengakuannya, ia menyebut mantra terkenal:

“Unguento, unguento, mandame a la noce de Benivento…”

(Salep, salep, kirim aku ke pohon kenari Benevento…)


Sejak saat itu, Benevento selalu disebut dalam banyak pengadilan penyihir Italia abad ke-15 hingga ke-16. 


Padahal, ironisnya, tak ada bukti pengadilan penyihir yang benar-benar terjadi di kota itu sendiri, mungkin karena arsip gerejanya musnah saat Perang Dunia II.


Peneliti folklore Paola Caruso menjelaskan, reputasi itu juga terbentuk karena posisi politik Benevento yang unik. 


Kota ini lama berdiri semi-independen di bawah kekuasaan gereja dan kerajaan, membuatnya dicurigai dan diserang lewat tuduhan mistik. 


“Cara termudah mendiskreditkan lawan politik kala itu adalah menuduh mereka bersekutu dengan iblis,” kata Caruso.


Para “penyihir” Benevento kebanyakan adalah perempuan penyembuh yang menguasai herbal seperti lavender, dandelion, dan St. John’s wort


Mereka sering menjadi sasaran fitnah karena dianggap memiliki “kekuatan” di luar nalar masyarakat patriarkal. 


Seiring waktu, sosok Janara berubah dari simbol kejahatan menjadi lambang perempuan kuat, mandiri, berpengetahuan, dan tak takut melawan norma sosial.


Kini, kisah Janare hidup kembali lewat Museum of Witches di Palazzo Paolo V, yang menampilkan ritual rakyat, doa kuno, jimat pelindung, hingga surat anak-anak abad ke-19 untuk menolak roh jahat. 


Beberapa wanita bahkan masih menolak pergi ke salon karena takut rambutnya disalahgunakan dalam mantra!


Selain lewat budaya rakyat, citra penyihir juga hidup di dunia bisnis. Tahun 1860, Giuseppe Alberti menciptakan minuman herbal berwarna kuning bernama Liquore Strega (“strega” berarti penyihir). 


Minuman ini segera menjadi ikon kota, dengan label menampilkan para penyihir menari di sekitar pohon kenari.


Bahkan, merek ini memberi nama pada Premio Strega, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di Italia. Dalam konteks modern, “sihir Benevento” berubah dari sesuatu yang ditakuti menjadi kebanggaan budaya dan identitas lokal.


Legenda Benevento juga menginspirasi penulis anak Amerika Johnny Marciano yang menulis seri The Witches of Benevento bersama ilustrator Sophie Blackall


Dalam versinya, penyihir Benevento menjadi makhluk jahil namun menggemaskan. Ini menunjukkan bagaimana kisah lama bisa berevolusi tanpa kehilangan magisnya.


Antropolog Scarinzi menutupnya dengan refleksi:

“Setiap kali seseorang menceritakan tentang Janare, berarti dunia sihir Benevento masih hidup—bukan di bawah pohon kenari, tapi di hati warganya.”


Disadur dari Smithsonian Magazine.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama