Fenomena langka menantang anggapan umum bahwa setiap orang harus tidur 7–9 jam demi kesehatan optimal.
Ringkasan
- Short sleeper alami hanya butuh 4–6 jam tidur tanpa efek buruk kesehatan.
- Peneliti menemukan sejumlah gen khusus, seperti DEC2, ADRB1, hingga NPSR1, yang membuat tidur lebih efisien.
- Fenomena ini bisa memberi petunjuk penting tentang rahasia tidur dan kesehatan otak.
SEJAK lama kita dicekoki aturan bahwa tidur harus cukup: 7–9 jam setiap malam. Kurang dari itu, risikonya mulai dari penurunan daya ingat, depresi, hingga penyakit jantung.
Namun, penelitian dalam dua dekade terakhir menemukan kelompok langka manusia yang tak tunduk pada “aturan tidur” ini. Mereka tetap sehat, bugar, dan bahkan produktif meski tidur lebih singkat.
Fenomena ini mulai terungkap saat Louis Ptáček, ahli saraf dari University of California, San Francisco, bersama rekannya Ying-Hui Fu, meneliti keluarga dengan pola tidur unik.
Mereka menemukan mutasi pada gen DEC2, yang membuat kebutuhan tidur berkurang drastis.
Eksperimen dengan mencangkok gen itu pada tikus membuktikan hal serupa, tikus dengan mutasi tersebut tidur lebih sedikit tapi tetap sehat.
Tak berhenti di situ, para peneliti menemukan gen lain yang berperan, seperti ADRB1 yang aktif di batang otak dan NPSR1 yang memengaruhi siklus tidur-bangun.
Pada manusia dengan variasi gen ini, tidur singkat tidak menyebabkan gangguan memori atau metabolisme. Bahkan, riset menunjukkan mereka cenderung lebih optimis, energik, dan tahan stres dibanding orang kebanyakan.
Para ilmuwan menduga kuncinya ada pada efisiensi tidur.
Alih-alih butuh waktu panjang, tubuh short sleeper bisa menyelesaikan “pekerjaan” tidur, mulai dari membuang racun di otak hingga memperkuat memori—dalam waktu lebih singkat.
Menariknya, penelitian pada tikus dengan gen short sleeper menunjukkan perlindungan terhadap penumpukan protein penyebab Alzheimer, seolah tidur singkat justru memperkuat daya tahan otak.
Namun, misteri ini belum sepenuhnya terpecahkan. Apakah short sleeper punya lebih banyak fase tidur gelombang lambat (deep sleep) yang paling memulihkan? Atau metabolisme otak mereka berbeda?
Pertanyaan ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi ilmuwan.
Meski begitu, pakar tidur menekankan bahwa fenomena ini tidak bisa ditiru sembarangan.
Mayoritas manusia tetap butuh tidur cukup, karena kekurangan tidur kronis berhubungan dengan obesitas, diabetes, dan risiko penyakit jantung.
“Menganggap semua orang harus tidur delapan jam itu sama saja seperti bilang semua orang harus punya tinggi badan 178 cm,” kata Ptáček, "Genetika manusia terlalu beragam untuk diseragamkan."
Jadi, kalau kamu merasa segar meski tidur singkat dan tidak mengalami efek negatif, mungkin kamu termasuk “short sleeper alami.”
Tapi kalau mata panda makin tebal dan kopi tak lagi menolong, sebaiknya kembali ke aturan tidur sehat, cukup, teratur, dan berkualitas.
Disadur dari Smithsonian Magazine.

Posting Komentar