Kabar Buruk, Bumi Ternyata Menggelap

Sebuah studi baru yang didukung NASA menemukan bahwa belahan Bumi utara kini menjadi lebih gelap dibanding belahan selatan


Sebuah studi baru yang didukung NASA menemukan bahwa belahan Bumi utara kini menjadi lebih gelap dibanding belahan selatan.Foto Ilustrasi: Freepik


Ringkasan 

  • Data satelit NASA menunjukkan belahan Bumi utara kehilangan lebih banyak energi radiasi dibanding selatan.
  • Penurunan reflektivitas (albedo) akibat mencairnya es dan berkurangnya awan membuat Bumi semakin “gelap.”
  • Ketimpangan ini dapat memengaruhi sirkulasi laut, pola cuaca, dan mempercepat perubahan iklim global.


BUMI ternyata makin gelap, secara harfiah. 


Menurut riset terbaru yang dipimpin Norman Loeb dari NASA Langley Research Center, data dari satelit Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES) menunjukkan adanya perbedaan besar antara belahan utara dan selatan. 


Hasilnya, seperti dilaporkan dalam jurnal PNAS, belahan utara mengalami net loss energi radiasi, sementara selatan relatif stabil. Dari luar angkasa, jika dilihat dari pancaran cahaya yang dipantulkan, sisi utara tampak lebih suram.


Fenomena ini berkaitan dengan apa yang disebut radiation budget — keseimbangan antara cahaya matahari yang diserap Bumi dan energi panas yang dipantulkan kembali ke luar angkasa (outgoing longwave radiation).


Idealnya, ketidakseimbangan ini dikompensasi oleh arus laut yang membawa energi antarbelahan. Tapi selama dua dekade terakhir, sistem itu tidak lagi mampu menutup selisih yang terus membesar.


Para peneliti menelusuri penyebabnya, di antaranya penurunan albedo (daya pantul permukaan), perubahan kadar uap air, serta interaksi aerosol dengan radiasi. 


Faktor paling mencolok ada pada mencairnya es di Kutub Utara. Ketika lapisan es memantul hilang, digantikan laut atau daratan gelap, Bumi menyerap lebih banyak energi matahari. 


Akibatnya, wilayah kutub memanas empat kali lebih cepat dibanding area lain—efek domino dari “hilangnya cermin dunia.”


Masalah berikutnya datang dari awan. Awan, terutama yang rendah, berperan penting memantulkan sinar matahari kembali ke angkasa. Namun jumlah awan ini menurun. 


Ironisnya, sebagian penyebabnya adalah berkurangnya polusi udara di belahan utara. 


Aerosol dari aktivitas industri dahulu berfungsi sebagai “benih” pembentuk awan. Saat emisi menurun karena kebijakan lingkungan, pembentukan awan ikut berkurang—sehingga pantulan cahaya juga menurun.


Temuan dari NOAA pada 2024 bahkan menunjukkan bahwa pengurangan emisi kapal lintas samudra menyebabkan berkurangnya awan reflektif yang dikenal sebagai ship tracks


Jadi, meski udara jadi lebih bersih, efeknya justru mempercepat pemanasan global. 


Beberapa ilmuwan kini mempertimbangkan teknik geoengineering, seperti penyuntikan aerosol ke stratosfer atau “pencerahan awan laut,” meski solusi ini penuh risiko dan kontroversi.


Sementara itu, di belahan selatan, situasinya berbeda. Aktivitas vulkanik dan kebakaran hutan besar, seperti letusan Hunga Tonga (2021–2022) dan kebakaran semak Australia, justru meningkatkan jumlah aerosol alami di atmosfer. 


Akibatnya, belahan selatan tampak lebih reflektif dibanding utara.


Ketimpangan radiasi ini terus bertambah sekitar 0,34 watt per meter persegi setiap dekade. Angka yang tampak kecil ini cukup untuk mengubah model iklim dan prediksi cuaca jangka panjang. 


Jika dibiarkan, “gelapnya” belahan Bumi utara bisa mempercepat perubahan iklim global—membuat planet ini semakin sulit disejukkan.


Disadur dari Popular Mechanics.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama