Otak ternyata bukanlah satu-satunya 'senjata' dalam mengingat. Hasil studi terbaru menunjukkan tentang sel-sel di tubuh lain sama pentingnya dalam pembelajaran.
(Foto Ilustrasi: jcomp/Freepik)
ngarahNyaho - Memori bak sistem pengarsipan pribadi otak kita. Saat kita mengalami sesuatu yang baru, seperti bertemu teman, otak mengkodekan informasi itu dengan mengubahnya menjadi pola aktivitas saraf.
Pola-pola ini disimpan di berbagai bagian otak kita, bergantung pada jenis informasinya.
Misalnya, ingatan visual mungkin disimpan di area yang bertanggung jawab untuk memproses gambar, sementara fakta dan angka disimpan di area yang menangani bahasa dan logika.
Pengambilan kembali ingatan terjadi ketika otak kitra perlu mengakses pola-pola yang disimpan tersebut. Ini mirip dengan mencari file di komputer.
Jika kita ingin mengingat ulang tahun seorang teman, otak kita mengaktifkan jalur saraf yang relevan untuk membawa informasi tersebut kembali ke pikiran sadar kita.
Kadang, proses ini berjalan lancar, namun di lain waktu kenangan bisa menjadi sedikit kabur atau tertukar, terutama jika tidak sering diakses. Itu sebabnya kita mungkin kesulitan mengingat sesuatu yang sudah lama tidak kita pikirkan.
Ingatan kita tidak sempurna, dan dapat berubah seiring waktu. Setiap kali mengingat suatu kenangan, otak kita mungkin memperbaruinya dengan informasi atau emosi baru.
Hal tersebut dapat membuat ingatan tersebut lebih kuat atau sedikit berbeda dari kejadian aslinya. Faktor-faktor seperti tidur, stres, dan bahkan nutrisi dapat mempengaruhi seberapa baik memori kita bekerja.
“Pembelajaran dan ingatan umumnya dikaitkan dengan otak dan sel-sel otak saja," kata Nikolay V. Kukushkin dari New York University, seperti dikutip dari Earth.
"Namun penelitian kami menunjukkan bahwa sel-sel lain dalam tubuh juga dapat belajar dan membentuk ingatan,” lanjut penulis utama studi tersebut yang hasilnya dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Tujuan penelitian Kukushkin dan rekan-rekannya untuk menyelidiki apakah sel-sel non-otak berkontribusi terhadap memori. Untuk itu, mereka gunakan sifat neurologis yang telah lama dikenal, yang dikenal sebagai efek ruang-massa.
Prinsip ini menegaskan bahwa kapasitas retensi kita akan lebih baik bila informasi dipelajari dalam interval yang berjarak dibandingkan dijejali dalam satu sesi yang intensif.
Dalam studi ini, para ilmuwan mensimulasikan proses pembelajaran jarak jauh dengan memeriksa dua jenis sel manusia non-otak – satu dari jaringan saraf dan satu lagi dari jaringan ginjal – di laboratorium.
Sel-sel ini terkena berbagai pola sinyal kimia, mirip dengan paparan sel-sel otak terhadap pola neurotransmitter ketika kita mempelajari informasi baru.
Sel-sel non-otak ini juga mengaktifkan “gen memori” – gen yang sama yang diaktifkan sel-sel otak ketika mereka mendeteksi pola informasi dan mengatur ulang koneksi mereka untuk membentuk ingatan.
“Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk belajar dari pengulangan secara berkala tidak hanya terjadi pada sel-sel otak, namun, pada kenyataannya, mungkin merupakan sifat mendasar dari semua sel,” kata Kukushkin.
Penelitian tentang sel non-otak ini tidak hanya memberikan perspektif baru untuk mempelajari memori, namun juga menjanjikan potensi manfaat yang berhubungan dengan kesehatan.
“Penemuan ini membuka pintu baru untuk memahami cara kerja memori dan dapat mengarah pada cara yang lebih baik untuk meningkatkan pembelajaran dan mengatasi masalah memori,” catat Kukushkin.
“Pada saat yang sama, hal ini menunjukkan bahwa di masa depan, kita perlu memperlakukan tubuh kita lebih seperti otak.
"Misalnya, pertimbangkan apa yang pankreas kita ingat tentang pola makan kita di masa lalu untuk menjaga kadar glukosa darah yang sehat atau pertimbangkan apa yang diingat sel kanker tentang pola kemoterapi,” jelas dia. |
Sumber: Earth
Posting Komentar